MAIYAHKUDUS.COM

“KANEMAN”

Mukadimah Semak’an edisi ke 64 (08 April 2023)

Di dalam sebuah kata, terkandung konsep. Uniknya, interpretasinya bisa berbeda-beda terhadap satu kata yang sama. Semisal kata, hujan. Menyebut hujan, mewakili konsep peristiwa menguapnya air pada permukaan bumi menjadi kumpulan awan yang jatuh kembali ke bumi berupa tetes – tetes air. Namun, kalau kita menyebut kata hujan kepada sekelompok suku di Peru, Benua Amerika pada abad sembilan, hujan dalam pengertian mereka adalah sesosok dewa bernama Dewa Chaac yang meminta persembahan tumbal manusia supaya ia turunkan air dari langit ke bumi. Dan dengan kata yang sama pula, konsep hujan tidak melulu berasosiasi air, bisa mendefinisikan benda yang bergerak dari ketinggian ke tempat yang lebih rendah. Hujan meteorit misalnya, hujan abu, hujan batu atau bahkan hujan air mata.

 

Aja cekak, cupet, lan cethek.” Begitu dawuh Mbah Nun. Ragam konsep di benak masing -masing jama’ah dalam memaknai kata demi kata yang setiap bulan Sedulur Maiyah Kudus usung sebagai tema, juga persinggungan sosialisasi antar jama’ah idealnya menuntun pada kerendahatian, kewaspadaan dan penerimaan. Rendah hati karena sadar lebih banyak yang tidak kita ketahui dari pada yang kita ketahui. Waspada karena pada konteks tertentu ketidaktahuan malah lebih menyelamatkan. Dan penerimaan, sebab adanya perbedaan justru memberi kepingan puzzle baru yang memungkinkan semakin mendekati kebenaran. Oleh karena untuk itu, pada edisi ke-64 ini Sedulur Maiyah Kudus mengangkat kata “KANEMAN” sebagai tema.

 

Dalam bahasa Jawa, menulis kaneman dengan huruf “ê” bertanda pêpêt, membacanya seperti mengucap lêmpêr, sêgo atau lêmbing. Jadi, kanêman, bisa bermakna ênêm atau enam. Ya, maksudnya penanda Sedulur Maiyah Kudus memasuki tahun keenam sejak kali pertama simpul maiyah ini diikatkan. Momentum ini pula kembali bertempat di Museum Kretek, juga penyebutan Semak Tadabburan menjadi Semak’an. Setelah sekian pertemuan berpindah-pindah lokasi karena ketatnya perijinan penggunaan ruang publik dampak pandemi covid-19. Enam mungkin memiliki tempat tersendiri diantara bilangan lain. Allah SWT melalui Al Qur’an menggunakan bilangan enam untuk menerangkan penciptaan bumi dan langit. Pernah orang era Jawa kuno memiliki hitungan hari berjumlah enam yaitu Tunglai, Hariyang, Wurukung, Paniruan, Was dan Mawulu. Dimana era jawa baru lazim menyebut paringkelan yang saat ini tidak lagi terpakai. Tentang “enam”, silahkan berbagi gagasan saat Semak’an melalui jendela tadabbur manapun.

 

Selanjutnya, kalau kaneman dengan huruf “è” taling, pengucapannya seperti membaca lèlè, sarè, plèsètan atau satè. Kanèman, bisa artinya muda. Belum tentu kata muda harus kategorisasi usia, bukan juga strata senioritas – junioritas. Alih-alih begitu, Sedulur Maiyah Kudus lebih memilih kesepadanan tiap jama’ah, yang membedakan adalah fungsi dan peran saja. Muda bisa merupakan metafora dari energi – energi baru yang berani berperan mengisi ruang kosong. Artinya, ada dinamika regenerasi sel – sel, hormon – hormon ataupun organ – organ dalam anatomi yang bernama Sedulur Maiyah Kudus.

 

Uraian singkat ini sekedar pengantar tema. Sila melingkar, menyelami kekhusyukan dan bergembira dalam persamaan juga perbedaan. Jadi, rindukah anda dengan atmosfer Semak’an di Museum Kretek? Mari hadir pada hari sabtu malam, tanggal 8 April 2023. Mulai pukul 20.00 wib.

Wallahu a’lam bisshawab. (Kang Brian)

Penggiat di Sedulur Maiyah Kudus