MAIYAHKUDUS.COM

Label Pembenaran

Catatan pinggir Semak Tadabburan edisi ke 8

Maiyah adalah kebersamaan, yang para penggiatnya mencoba selalu berusaha membuat simpul-simpul ikatan untuk menjalin persaudaraan kepada siapa pun. Mengikat persaudaraan-persaudaraan kepada yang bukan saudara. Belajar hal-hal kecil sebagai manusia beragama yang menjadi rahmat seluruh alam. Mencoba membuat solusi sederhana ditengah maraknya pelabelan-pelabelan golongan.

Banyak sekali golongan melabeli dirinya untuk berbeda dengan yang lain. Diantara banyaknya golongan tersebut merasa dirinya baik, dan sayangnya menganggap lainya tidak baik. Golongan-golongan ini yang pada dasarnya adalah mencari solusi atas banyak masalah yang muncul, tapi justru malah menjadi bagian dari masalah baru: saling membeda-bedakan kemudian tercerai-berai.

“Jawa Digawa, Arab Digarap, Barat Diruwat” menjadi tema diskusi acara Sedulur Maiyah Kudus Tadabburan edisi ke 8. Pada tema ini seolah ada pelabelan berbeda pada masing-masing bangsa. Jawa dianggap sebagai simbol budaya leluhur harus selalu dibawa. Arab dipersepsikan simbol agama (islam) harus digarap implementasinya dalam berbudaya. Dan barat seolah perlambang modernitas harus diruwat, dipilah negatif positifnya. Padahal tidak sepenuhnya demikian. Karena jawa belum tentu budaya agung yang harus diagung-agungkan, arab belum tentu islam yang budayanya tidak harus dipraktekkan, dan barat seolah lebih modern belum tentu sepenuhnya masalah pada budaya yang sudah tertanam sehingga harus ada ruwatan.

Disisi lain, ada benarnya bahwa budaya leluhur musti dijaga agar pewarisnya tak kehilangan jati diri, tak kehilangan kearifan lokal. Kearifan lokal selalu sarat dengan pesan moral. Kearifan lokal menjaga pelakunya berprilaku menghormati lingkungan, menghormati sesama dan juga alam. Pelaku budaya luhur akan berakhlak luhur. Jika suatu bangsa masyarakatnya berakhlaq luhur semestinya menjadi bangsa yang luhur.

Agama prinsipnya adalah penyempurna akhlak. Agama menjadi penting untuk menggarap perilaku masyarakat. Agama semestinya menyempurnakan perilaku para pemeluknya dari yang tidak baik menjadi lebih baik. Agama menjaga pemeluknya untuk tidak melakukan keburukan dan berusaha mengamalkan kebaikan.

Modernitas juga ada baiknya diruwat agar nilai-nilai negatif efek sampingnya tidak memperburuk akhlaq masyarakat. Modernitas harus dipilah sisi positifnya untuk mempermudah akses kebajikan. Dengan kemudahan akses kebajikan, maka persebaran kabajikan menjadi gampang, akhirnya akhlaq-akhlak luhur mudah tertanam.

Pelabelan-pelabelan tersebut pada dasarnya tidak ada masalah asalkan alasannya dalam rangka menjadi lebih baik lalu menebarkannya. Karena nyatanya kemajemukan adalah fitrah yang harus disyukuri. Perbedaan budaya, suku, bahasa, agama dan lainnya adalah kekayaan. Namun demikian, akan menjadi masalah jika pelabelan tersebut dalam rangka saling membedakan sehingga menjadi benih perpecahan. Seolah perbedaan menjadi ‘ancaman’ bagi kelompok yang membedakan.

Sekarang ini isu kotak-kotak budaya, agama, dan modernitas menjadi komoditas politik untuk saling ditabrakkan. Isu-isu sara mewabah, mengindikasikan persaudaraan diantara umat semakin rendah. Alhasil, karena perbedaan pandangan antar kelompok dengan mudah menghakimi kelompok lainnya dengan label salah. Artinya, masih banyak fanatisisme kelompok ideologis yang berlawanan gagal paham akan label yang dipakai adalah kamuflase kepentingan.

Seperti sebagian bangsa Timur Tengah yang gagal mengelola keberagaman sehingga berlarut-larut mengalami berbagai gejolak dan konflik-konflik disertai kekerasan. Watak sejati manusia kehilangan ekspresi, lahir kemerosotan moral, korupsi, dan permusuhan, meluncurkan fitnah, penistaan, penghinaan, dan kebohongan (manipulasi dan distorsi informasi). Akankah negeri ini mencontoh yang demikian?

Kudus Yerussalem Van Java. Yerussalem, kota penuh toleransi, yang pada masa itu dicopy-paste oleh Kanjeng Sunan dari palestina sebagai kota tiga agama yang saling menjaga dan menghormati. Sekarang menjadi kota konflik yang selalu direbutkan. Semoga Kudus tak akan pernah terjadi yang demikian.

(‘Arif Lukman Kastury)

Penggiat di Simpul Maiyah Kudus. Tukang nggambar yang tak bisa menggambar.