MAIYAHKUDUS.COM

Akal

Mukadimah Semak Tadabburan edisi ke-21 (13 April 2019)

Secara sains, peristiwa hujan adalah bagian dari siklus air di alam semesta, dimana mekanisme teknisnya sudah diajarkan di bangku sekolah dasar. Sedangkan teks dan retorika agama (islam) permukaan menyebutkan hujan adalah rahmat Tuhan.

Informasi peristiwa tersebut sering kali mandeg -sebatas hanya sekedar tahu saja-. Padahal nyatanya masih menyimpan banyak pengetahuan dan hikmah bagi kaum yang berakal dan berfikir. Seperti halnya banyak disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an –dengan aneka bentuknya- yang mengisyaratkan pentingnya peranan akal.

Kata “akal” dari lafal aqala, ya’qilu, aqlan yang berarti “mengikat” atau “menghalangi”. Sedang secara umum, makna kata ‘aqal dalam konteks rahmat Tuhan kepada manusia adalah potensi yang mendorong meraih pengetahuan dan hikmah pada lahirnya budi pekerti luhur atau menghalangi melakukan keburukan serta pemeliharaan kesucian nurani.

Senada dengan lafal arab di atas, pada bahasa sanskerta, kata budaya atau kebudayaan berasal dari kata buddhayah, yang menjadi bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal); diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Dari pengertian tersebut, mekanisme akal itu memahamkan logika tentang segala sesuatu dengan memilah antara kebaikan dan keburukan yang diajak oleh jiwa makhluk demi menjauhi kejelekan atau kerugian. Pengaturan ini menjadikan bentuk jalan syariat dalam kehidupan, sehingga muncul akhlak atau akal budi. Yang kemudian akal budi tersebut membuat tingkat kesiapan dan potensialitas jiwa dalam menerima konsep-konsep universal yang bersifat rasional.

Lawan kata akal adalah jahl (kebodohan atau kejahilan). Nafsu pada manusia membuat akal -yang memilah baik dan buruk demi menjauhi kerugian- akan menjadi ego pada dirinya. Sehingga setiap akal juga berpotensi untuk berlaku jahil. Dari sini lah ajaran agama dibutuhkan untuk menyempurnakan keluhuran akhlak.

Kejahilan ego pada makhluk dapat menjadikan akal lupa untuk iqra‘ dengan benar (bismi rabbika). Perilaku ini membuat ia membaca -apa saja yang tertulis atau terhampar- tidak lagi dengan nama Yang Mahapencipta, tetapi malah menyembah apa yang ia ‘baca’. Bahkan bisa jadi melawan Dia.

***

Orang yang berfikiran salah itu punya logika terbalik. Logika ateis misalnya; agama dianggap ‘candu’ masyarakat, seperti halnya narkoba dan arak yang membuat khayali (fantasi). Padahal agama jangan sampai melahirkan khayali. Agama (Tuhan) itu sesuatu yang haq. Kita harus sadar betul akan kehadiran-Nya.

Contoh lain misalnya, jika kita menggantungkan keberagamaan dengan kebutuhan kita maka akan sangsi dengan-Nya. Tuhan akan dianggap seperti panitia atau tim sukses. Padahal “Yang Maha menciptakan” adalah sifat universal-Nya, sebagaimana dalam surat Al’alaq.

Kita lupa bahwa ada sifat Tuhan yang universal. Keberadaan Tuhan itu haq, tidak bergantung logika menyimpang manusia. Kesalahan kita, sering mensifati Tuhan dengan ‘khas’ internal islam. Yaitu, terlalu sering berlatih dengan mensifati-Nya dengan “Yang Mahamengabulkan segala permintaan”. Padahal Tuhan itu yaf’alu man yasya’ (berbuat yang Dia kehendaki). Kita lupa bahwa Dia bukan cuma milik kita saja, tapi juga yang lain. Karena milik orang banyak itu, sepantasnya Dia Mengatur, bukan diatur. Semestinya beri ruang Tuhan untuk tetap sebagai Tuhan, bisa melakukan apa yang Dia kehendaki, bukan yang kita kehendaki. Tuhan bukan lah budak.

Selama Dia tetap Tuhan, tidak ada masalah, karena tidak akan ada perubahan yang signifikan. Sebagaimana doa Nabi Khidir :

“Ya Allah, kita-kita itu tidak akan rusak dan akan baik-baik saja selama Tuhannya Engkau”.

Bahwa akan menjadi tidak baik itu karena mengaitkan Dia dengan nafsu keinginan kita.

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al-Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Al-Mu’minun: 71)

Yang menjadi sunnatullah; sebaiknya dunia itu yang normal-normal saja. Segala sesuatu yang sudah diatur-Nya sedemikian rupa itu penuh hikmah, sesuatu yang sudah ditempati-Nya kita tak perlu ikut menempati, karena akan membuat khayali menuruti kemauan sendiri.

Wallahu a’lam bisshawab. (ALK/Redaksi Semak)

Sedulur Maiyah Kudus (Semak) adalah Majelis Masyarakat Maiyah di Kota Kudus, yang merupakan bagian dari Masyarakat Maiyah Nusantara.