MAIYAHKUDUS.COM

Kitab Martabak (Part 7)

Berjam-jam Pukrul dan Brian menunggu Dalban. Mereka janjian di suatu tempat untuk ngobar (ngopi akbar), sebuah forum yang digagas Pukrul untuk menampung kegelisahan intelektual para mahasiswa. Mahasiswa-mahasiswa itu sering berkumpul, membolos kuliah hanya untuk cangkrukan di sebuah warung. Mereka bersepakat untuk membuat forum dan meminta Pukrul untuk memfasilitasinya.

“Kang Dalban kok belum datang ya?”

“Mungkin tersesat!” Brian menjawab.

“Ah, masa? Padahal kemarin sudah aku berikan peta lokasi kafe ini lho”

“Petanya salah mungkin.”

“Peta kok salah? Ya ndak lah”

“Ya bisa saja, atau petanya kurang presisi, kurang jelas, sehingga membingungkan.” Pukrul tetap bersikukuh bahwa petanya tidak salah.

“Apa mungkin Kang Dalban tidak bisa membaca peta ya?” Brian sepertinya tidak setuju dengan pendapat Pukrul yang menyepelekan kemampuan Dalban.

Mosok Kang Dalban ndak bisa baca peta? Sepertinya tidak mungkin, dia sangat pintar.”

“Bisa saja, Kang Dalban pintar dalam hal memberikan hikmah-hikmah, membaca gejala zaman, menerangkan konstelasi politik, tapi mungkin tidak pintar membaca peta. Bukankah tidak ada orang yang auto-pintar, tidak ada orang yang pintar segala hal?” Pukrul mulai membuka diskusi.

Brian sepertinya tidak ingin meladeni pancingan Pukrul.

Mbuh lah, yang jelas Kang Dalban tersesat!”

Mereka bersepakat untuk menunggu Dalban sak ududan. Sampai waktu yang disepakati Dalban belum muncul, Pukrul dan Brian akan mencari tahu, menyusul.

Assalamualaikum!” Suara Dalban memecah rasa was-was Pukrul dan Brian serta mahasiswa yang sedari tadi sudah mulai berkumpul di Kafe Meong.

Waalaikumsalam warahmatulloh!” Kompak semua menjawab salam Dalban.

“Sampean kesasar Kang? Bukankah sudah ada petanya, peta yang aku berikan kemarin itu lho Kang. Apa Sampean lupa acara ngobar ini Kang? Jangan-jangan Sampean mampir ke warung Mbak Sri?” Pukrul nyerocos menghujani Dalban dengan pertanyaan.

“He! Mbok nanti dulu wawancaranya. Biar Kang Dalban duduk dulu, ngopi dulu. Istirahat sejenak. Belum-belum sudah dihajar dengan pertanyaan.” Brian memperingatkan Pukrul.

“Halah, ini waktunya sudah malam Bri! Kang Dalban, sudah sholat kan?”

Brian semakin jengkel dengan Pukrul. “Krul! Kowe kuwi lho, pertanyaanmu apik, tapi luwih apik nek kowe takon Kang Dalban wis mangan durung? Kewajibanmu adalah memastikan tanggung jawabmu tertunaikan, Kang Dalban di sini tamu istimewa, kita wajib menjamu Kang Dalban.”

Wis-wis, koyo karo sopo wae, tolong buatin kopi saja, gulanya sedikit” Dalban menghentikan perseteruan Brian dan Pukrul.

“Jadi gini, tadi aku muter-muter di desa sebelah, kira-kira setengah kilo dari sini. Tidak ada orang yang bisa aku tanyai.”

“Ya toh, Sampean tersesat!”

“Tersesat gimana? Wong Aku berhasil sampai sini kok!”

“Lah, Kang! kata Pukrul sudah ada petanya? Apa Sampean tidak membacanya?” Brian bertanya.

“Dari rumah aku sudah bawa petanya, tetapi menurutku petanya membingungkan, aku coba membacanya dengan seksama. Di tengah jalan, aku istirahat memastikan bahwa perjalananku benar menuju Kafe Meong. Aku mampir beli rokok, sekaligus bertanya kepada penjual, apa benar arah yang aku tempuh sesuai dengan peta, menuju tujuan. Nah, masalah timbul setelah dari warung rokok, petanya sepertinya jatuh saat mengambil uang dari saku. Aku terus berjalan tanpa peta, bertanya sana-sini menanyakan Kafe Meong. Sampai ketemu Mas Tyo, yang sudah hafal jalan ke Kafe Meong. Tadi Aku diantar Mas Tyo sampai ujung depan gang.” Dalban menerangkan dengan detil proses perjalanan ke Kafe Meong.

“Tuh kan bener, Kang Dalban tersesat!” Pukrul menyela cerita Dalban.

“Bisa dikatakan ya, bisa tidak!” Dalban tidak setuju dengan pernyataan Pukrul.

Brian terpancing dengan jawaban Dalban. “Lho Kang, bukankah tersesat itu terjadi karena beberapa kemungkinan. Yang pertama, orang tidak punya peta ke tujuan. Yang kedua orang yang punya peta tetapi petanya salah dan membingungkan. Yang ketiga, orang punya peta yang benar tetapi tidak bisa membaca peta.”

“Satu lagi. Orang yang tidak punya tujuan!” Pukrul menambahi.

Dalban menghisap rokoknya. “Yang terakhir jelas salah! Orang tidak punya tujuan itu tidak bisa tersesat, wong tidak punya tujuan kok! Kata siapa orang yang tidak punya peta dipastikan tersesat? Aku tadi dari warung rokok ke sini tidak pegang peta. Kata siapa jika petanya membingungkan mesti tersesat? Petanya Pukrul itu tidak presisi tapi aku bisa menuju ke arah yang benar. Kata siapa orang yang tidak bisa membaca peta dijamin tersesat? aku tidak pandai membaca peta, faktanya aku sampai sini.”

“Lalu apa yang memastikan kita tersesat?” Beberapa mahasiswa serentak bertanya setelah mendengarkan penjelasan Dalban.

“Berhenti! Kalau saja aku tadi berhenti, pasti aku tidak sampai sini. Karena aku terus berjalan, meski aku tidak pandai membaca peta, petanya membingungkan, bahkan tidak ada petanya, aku berhasil tidak tersesat, aku sampai sini. Jadi agar tidak tersesat, ya jangan berhenti! Benar tidak?”

Semua mahasiswa, Pukrul dan Brian manggut-manggut tanda setuju.

“Ayo kita mulai sinau bareng malam ini, kita mau bahas apa?”

“Temanya peta! Eh .. salah, kitab suci!”

Penggiat di simpul Gambang Syafaat Semarang. Sehari hari bekerja sebagai PNS di Kudus.