Beberapa hari ini, Pukrul rajin berkeliling ke warga, para tetangga. Entah apa yang ada di pikiran Pukrul, seperti kerasukan jin mubalig, Pukrul menanyai satu persatu dengan pertanyaan yang sama, “Kalau saya mau buat kegiatan, enaknya apa ya?”
Jawabannya tidak diduga oleh Pukrul, ternyata begitu beragam. Ada yang mengusulkan sholat duha bersama, ada yang munajat meminta rejeki, ada yang sholat hajat berjamaah, bahkan ada yang nyeleneh: dangdutan saja disamping suara mayoritas yang menginginkan pengajian.
Pukrul tidak sedang akan mencalonkan kepala desa atau anggota legislatif, bagi dia, menjadi penggelar tikar untuk sebuah acara adalah kepuasan tersendiri. Apalagi jika acara tersebut dihadiri banyak orang dan memberi suasana kegembiraan. Model orang seperti Pukrul banyak, biasanya orang-orang itu tipikal “the man behind scene“, mereka mencari keberkahan dengan cara yang absurd, nggelar kloso. Di setiap gelaran kegiatan tentu ada orang-orang kayak Pukrul, mereka menamakan diri penggiat, tidak menyebut aktifis.
Pukrul mengutarakan hasil jajak pendapat kepada Dalban, tentu supaya langkahnya tepat.
“Kang, ternyata keinginan warga beragam, ada yang maunya pengajian, ada yang maunya munajat, ada yang pengin hiburan” kata Pukrul.
Dalban berusaha memahami penjelasan Pukrul perihal hasil jajak pendapat yang telah dilakukan.
“Bagaimana kalau kita ‘jebak’ saja mereka?”
“Jebak? Jebak bagaimana maksudnya?”
“Kamu buat sebuah kegiatan yang isinya gado-gado, ada menu hiburannya, ada menu spritualnya, ada menu pengkajiannya” Dalban mencoba menawarkan.
“Dengan kegiatan yang isinya campur, memungkinkan warga yang berbeda kesenangan bersilaturahim, berkumpul dalam satu kegiatan.”
“Lalu apa dong kegiatannya, mosok pengajian isinya genjrang-genjreng gitar dan gamelan. Nanti kalau munajatan dicampur dengan pengkajian, apa tidak ruwet? Apa spesialisasi kegiatannya?”
“Ya, ente jangan bilang itu pengajian, jangan dinamakan munajatan, tidak perlu diutarakan itu diskusi, bikin istilah baru, apalah. Ini bukan kegiatan yang fakultatif, ini genre combo, paket sekaligus, yang mencoba menyentuh seluruh dimensi kompleks warga.”
“Duh Gusti Hiks.. !” Pukrul langsung dapat ide nama kegiatan.
“Apa itu?”
“Duha bersama, Pengajian dan akustik.”
“Ya.. itu juga boleh, milenial sekali, atau Ngopi Kustik, ngolah ati lan pikir dan akustik.” Dalban mengiyakan saja.
“Nama tidak begitu penting sepanjang tidak menimbulkan resistensi, jangan yang jelas-jelas masyarakat kurang setuju, ente coba bongkar, hanya karena nafsu waton bedo, waton wani.”
“Maksudnya?” Pukrul meluruskan badannya tanda siap menerima kalimat rumit dari Dalban.
“Misal begini, jangan menamakan misalnya Majelis Asu Kabeh, meski maksudnya majelis asik untuk sekabehe. Sebab jelas itu menimbulkan pro-kontra yang tidak perlu.”
“Oh, tentu saja. Kita sudah lelah dengan pro-kontra, yang ingin dituju dari kegiatan ini adalah menampung keinginan warga yang ternyata beragam.”
“Ya sudah, tinggal ente cari teman untuk jadi penggiat, penggiat itu sukarelawan yang berkomitmen, dan juga bisa dibalik, berkomitmen untuk sukarela.”
“Kalau ada yang komentar ‘tidak ada itu tuntunan Duha berjamaah’ Bagaimana? lalu kalau ada yang nuduh kegiatannya materialistis, meminta rejeki dengan Duha, jawabnya bagaimana? Masak ada Jrang-jreng gitaran dan gamelannya.” Pukrul mencoba untuk mencari jawaban yang mungkin akan ditanyakan warga.
“Ya, jawab saja: ini bukan duha berjamaah, ini duha bersama. Bilang: duha dan munajat bukan jalan untuk meminta tambahan duniawi, cuma setoran syukur agar Allah terharu. Kok ada gitar dan gamelan sebelum duha? jawab saja: ini kentongan milenial, adzan alternatif. Tapi jawabnya tak perlu serius, akhiri kalimat begini: ikut saja dulu nanti kalau ada yang kurang pas, bisa bantu urun saran biar pas.”
“Siap …” Pukrul seolah punya resep membuat orang tidak crigis terhadap hal-hal yang baru. Pukrul sebelumnya menjawab dengan adu argumen dan adu referensi yang justru menambah jurang perbedaan.
“Sebentar-sebentar, kalau mereka tetap mempertanyakan kegiatan Duh Gusti Hiks, bagaimana?”
“Bilang, ini kegiatan atas ijazah Emha Ainun Nadjib”
“Kalau masih tidak setuju?”
“Ditinggal wae, mending nutuk saron, dari pada khilaf nutuk ndasnya.”