MAIYAHKUDUS.COM

Kitab Martabak

Ini adalah obrolan dua anak yang sedang senang-senangnya diberi kitab Martabak oleh sang guru. Sebut saja mereka Dalban dan Bryan. Si Bryan menanyai Dalban.

“Ban, Dalban. Kamu paham, ndak? maksud guru kita memberi kitab Martabak ini?”

Kemudian Si Dalban menimpali, “Seandainya pun aku tidak paham isi kitab Martabak ini, aku tetap mempercayai bahwa semua isi kitab yang diberikan guru kita adalah kebenaran.”

Si Bryan kaget dengan jawaban temannya yang mendadak filosofis, “Dalban!  Sejak kapan kamu bicara tentang kebenaran?”

“Ya, sejak Aku bertemu guru, Aku jatuh cinta kepada guru.” Balas Dalban.

“Tetapi, Adakah ucapan guru kita yang menerangkan kepadamu bahwa isi kitab Martabak ini adalah kebenaran?” Tanya Bryan.

Dengan gaya bicara yang yakin si Dalban menjawab, “Tidak, maksud ku, tidak secara langsung. Guru hanya bilang, bawalah kitab Martabak ini dalam derap langkahmu, cumbui nada dan iramanya, berkubanglah di dalam pusaran dialektika teks dan jagad raya.”

“Waduh, Dalban… Kamu kerasukan apa? Omonganmu semakin tidak aku pahami.” Si Bryan tambah bingung dengan ucapan temannya.

“Heu heu… Kamu sendiri sudahkah menghayati kalimat dalam kitab Martabak yang diberikan guru? Dari detil kata perkata, kalimatnya, maksudnya. Belum, Kan?” Dalban balik tanya.

Bryan merenung sejenak, selang beberapa detik menimpali, “Saya, berusaha memahami isi kitab Martabak ini, ada yang aku paham seratus persen maksudnya, dan ternyata benar, yang ada di kitab Martabak, adalah realitas di kehidupan nyata.”

“Lalu?” Dalban mengulang tanya.

Dengan wajah yang nampak serius, Bryan membalas, “Tapi, ada yang aku pahami hanya sebagaian saja, dan aku  belum menemukan penjelasannya dalam kehidupan ini.”

“Mengenai apa yang kamu pahami sebagian, atau bahkan yang belum kamu pahami bagian dalam kitab Martabak,  Apakah kamu meyakini itu  kebenaran?”

“Bagaimana aku menjawab pertanyaanmu? Ada beberapa bab di dalam kitab Martabak, bercerita tentang 200 tahun mendatang, yang aku sendiri tidak mungkin mengkonfirmasi apakah cerita di kitab Martabak itu sesuai dan akan benar-benar terjadi.”

“Tapi, kamu mempercayainya?”

“Tentu saja,!” Jawab Bryan tegas.
“Itulah Iman, informasi yang kamu yakini dalam pikiranmu, bolehlah itu kita sebut kebenaran dalam pikiran.” Jelas Si Dalban.

“Apalagi itu, Dalban?  istilah kebenaran dalam pikiran, aku baru mendengarnya.”

“Aku hanya menuntunmu untuk bisa memahami kehendak guru kita, memberikan kitab Martabak ini. Bukankah tadi kamu katakan, ada informasi di kitab Martabak yang seratus persen benar, karena engkau membuktikan di dalam kehidupan bahwa informasi itu benar-benar terjadi.”

“Ya, tapi yang tidak terjadi apa berarti tidak seratus persen?” Dengan mengerutkan dahi, Bryan menunjukkan wajah bingungnya.

“Maka dari itu,  aku kenalkan istilah kebenaran dalam pikiran. Kamu harus yakin bahwa informasi di dalam kitab Martabak ini seratus persen benar, meskipun belum menjadi kebenaran factual.”

“Sebentar-sebentar,” sela Bryan, “Apalagi ini, Dalban. Kebenaran faktual?”

“Ya, kebenaran faktual, kebenaran yang menghampar di dalam kehidupan nyata ini.”

“Jadi, maksudmu kebenaran dalam pikiran pasti akan berjodoh dengan kebenaran faktual?” Bryan semakin bingung.

“Belum tentu!”

“Lho… Bagaimana?”

“Kalau kamu bisa memahami dengan presisi maksud dari kitab Martabak,  tentu saja pasti berjodoh dan terkonfirmasi menjadi kebenaran faktual, tapi apa kamu bisa menjamin bahwa pikiranmu seratus persen memahami kitab Martabak ini? Kitab ampuh pemberian guru?”

“Ya, bisanya saya akan memahaminya dong,”

“Kalau kamu suatu saat, mendapati bahwa kebenaran dalam pikiranmu ternyata berbeda dengan kebenaran faktual,  apa kamu berhenti percaya kepada guru kita? Menganggap bahwa kitab Martabak salah?” Kembali Dalban menanyai sang kawan.

“Tidak demikian,  itu karena pikiranku yang belum memahami sepenuhnya maksud dari kitab Martabak.”

“Kamu masih percaya kepada kitab Martabak dan guru?”

“Ya,..” Jawan Bryan.

“Seratus persen percayanya?”

“Ya  ya ya…”

“Sekali lagi itulah iman.” Dalban meninggalkan Bryan, sambil menepuk pundaknya, dan meninggalkan secarik kertas bertuliskan: “Ini bukan sembarang Martabak.”

Penggiat di simpul Gambang Syafaat Semarang. Sehari hari bekerja sebagai PNS di Kudus.