MAIYAHKUDUS.COM

Ndilallah Dadi Fadlillah

Mukadimah Semak Tadabburan edisi ke-25 (9 Agustus 2019)

Membaca kondisi kebangsaan kini sungguh memprihatinkan. Gaduh dan ricuh dimana-mana, pergaulan sosial memanas penuh konflik, hukum doyong, birokrasi sering menjengkelkan, lembaga perwakilan bak komedian, pemerintahan bersih hanya jadi slogan, rakyat merasa kehilangan pemimpin dan akhirnya mencari pemimpin sendiri-sendiri.

Sementara itu masyarakat kian apatis dengan lembaga-lembaga resmi yang mampu melahirkan pemimpin. Sistem dan kebijakan yang ada justru memandulkan stok. Pendidikan yang diajarkan sekedar cara mengikuti dan berkompromi dengan zaman. Sehingga seleksi alam hanya melahirkan pemimpin yang ‘pas banderol’. Mereka lahir karena sudah tak ada lagi stok.

Ada adagium mengatakan “konon pemimpin mencerminkan masyarakat yang dipimpinnya”. Hal ini terbaca jika pemimpin sewajah dengan apa yang diungkap di atas, maka bisa jadi kira-kira begitulah masyarakatnya. Sehingga kita semestinya muhasabah diri, pasti ada yang keliru dengan individu-individu kita sebagai masyarakat.

Afdalnya muhasabah, jika hanya berhenti pada perenungan maka yang ada adalah menyinyiri keadaan. Introspeksi normalnya ada follow up aksi. Maka tak lain tak bukan kita harus mulai memperbaiki diri. Minimal berlatih menjadi pribadi yang tidak oposan biner penambah masalah bagi yang lain.

***

Kalau berbicara istilah “kita sedang kehilangan jati diri bangsa” cakupannya akan panjang lebar dan bertele-tele. Mungkin sebaiknya kita bicara tentang diri sendiri saja. Karena bisa jadi kita yang sedang kehilangan jati diri. Atau mungkin identitas dan personalitas kita tergadaikan, awak dan ingsun sudah lupa daratan.

Sebagaimana mukjizat pada nabi, setiap mahluk dibekali dengan fadlillah oleh Tuhan. Fadlillah kurang lebih adalah keutamaan diri dengan daya menghidupi, untuk mendampingi otentitas diri yang berdaya hidup. Kata kunci inilah mungkin yang menjadi dasar jati diri setiap pribadi, dimana kita – seperti disebut di atas – sudah  kehilangan atau lupa bahkan tak kenal sama sekali.

Sudah sunatullah manusia memang selalu lupa. Lupa ibarat bentuk lubang hitam ujian sebagai mahluk ahsanu taqwim. Kelengkapan anugerah akal dan nafsu menjadikan ia berjarak hijab dengan Sang Khaliq. Sehingga kalimat “siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya” adalah pengingat kembali.

Mengenali diri barangkali adalah mengenali fadlillah pada dirinya, karena pada setiap satu dan lainnya berbeda (fadldlalallahu badlan ala badlin), spesifik dan unik. Tahap paling dasar yakni kenal bahwa ingsun itu mahluk, yang aktifitas eksoterikanya melayani dengan spirit tulus. Bukan hanya melalui ibadah tapi juga melayani mahluk-mahluk ciptaanNya.

Sebagai cipataan Tuhan semestinya mensyukuri segala yang diberikanNya. Untuk mensyukuri fadlillah alangkah indahnya awak selalu menggali, membangun, dan mengembangkan potensi diri. Jangan sampai menjadi generasi larahan yang terseret arus zaman. Jangan pula menjadi generasi kerdil tergilas peradaban. Harus siap untuk menjadi generasi baru membina perubahan menuju perbaikan.

Kita harus siap moral, siap ilmu, siap mental, siap managemen, juga siap menjalani kegagalan, agar siap dan penuh kelayakan untuk memimpin di masa depan. Meski tak pantas mengajukan diri menjadi pemimpin, mari siapkan badan pribadi masing-masing untuk layak dipilih. Agar bangsa ini tidak kosong stok untuk mengimami negeri cipratan surga ini hingga yaumilqiyamah.

Apapun hasilnya ndilallah (indallah) kersaning Gusti Allah. Yang penting selalu setia pada proses dan cahaya harus terus menyala.

Wallahu a’lam bisshawab. (ALK/Redaksi Semak)

Sedulur Maiyah Kudus (Semak) adalah Majelis Masyarakat Maiyah di Kota Kudus, yang merupakan bagian dari Masyarakat Maiyah Nusantara.