MAIYAHKUDUS.COM

Mencari Esensi Kata Satriya dalam Diri Kita Sendiri

Reportase Semak Tadabburan edisi ke-16 (10 November 2018), tema “Satriya Carangan”.

Guyuran air hujan mendera langit Kudus dan terhenti selepas Isya. Majelis Semak Tadabburan edisi ke-16 (10 November 2018) di halaman Museum Kretek yang bersamaan masuknya bulan Maulid ini diawali dengan alunan sholawat Albarjanzi oleh Kang Ulul Albab CS.

Mengambil tema Satriya Carangan, sinau bareng malam Minggu bertepatan dengan hari pahlawan ini memberi wawasan baru mengenai esensi kata ‘satriya’. Bahwa satriya itu ada dalam setiap jiwa manusia. Hadir di acara ini Mas Edi Kurniawan R. dan Mas Rofiq dari Komunitas Matra (Masyarakat Adat Nusantara).

Mas Rofiq mendefinisikan bahwa satriya carangan ialah satriya dalam cerita pewayangan yang beda dari pakem. Jika dalam kisah pewayangan ada tokoh Mahabharata atau Ramayana, maka carangan yang berasal dari kata carang/ranting ini merupakan sempalan dari cerita-cerita yang telah ada tersebut. Tokoh adat ini juga menjabarkan mengenai ritual pembakaran dupa dalam doa oleh masyarakan adat, hendaknya jangan kita mengedepankan sentimentil mengenai hal-hal yang berbau kekufuran saja. Ritual tersebut janganlah kita sebut sebagai doa yang tidak mungkin terkabul, karena terkabul atau tidaknya urusan Gusti. Sentimen ini juga jangan diarahkan pada perbedaan pandangan dari karakteristik kita. Bisa jadi ada wali yang disembunyikan Gusti dan meyerupa pada orang-orang tertentu yang beda dari kita. Terkait dupa tadi, ia memilih dengan sebutan aroma terapi, karena zaman itu berkembang. Kita pun tidak bisa memaksakan pakaian manusia sekarang harus sama dengan zaman dahulu. Karena perkembangan zaman itulah, maka tentunya ajakan-ajakan jalan kebaikan lebih bijak jika disesuaikan dengan perubahan zaman.

Dilanjut Kang Muhajir Arrosyid, tokoh berjuluk Kyai Kampus dengan gaya nyentrik dan fashionable ini mengangkat tentang Sabdo Palon serta Satriya Piningit yang erat kaitannya dengan pesta demokrasi di mana sebentar lagi menghiasi wajah Indonesia. Beliau menyinggung istilah Notonegoro, serta keberadaan kita sebagai satriya problem solving (pemecah masalah), bukan pemicu masalah. Satriya Piningit itu ada dalam diri sendiri, tergantung mau ke mana kita membawa diri ini. Dan mengenai presiden Indonesia, mengapa selalu orang Jawa? Ia mengatakan adanya trah silsilah wahyu yang tak lepas dari perjalanan Nusantara sendiri.

Mas Edi Kurniawan menyambung tema carangan, menyinggung mengenai sosok Amangkurat yang hidup pada zaman kerajaan Mataram. Dikisahkan pada masa pemerintahannya, banyak terjadi pemberontakan, sering timbul kontroversi dari kalangan kerajaan. Ia diidentikkan dengan tokoh yang menculik para ulama. Dan dalam pangendikan Sabdo Palon disebutkan bahwa keturunan Amangkurat tidak akan pernah naik tahta Mataram. Tentang sudah terjadi atau belum ramalan Sabdo Palon ini, beliau mengatakan dalam konteksnya memang sudah terjadi.

Dari punggawa Semak ada Kang Ali Fathan yang mengangkat cerita di luar pakem tentang kisah Adam, Idim, dan Udum. Mengabai dari kebenarannya, bahwa ada Adam yang diturunkan dari surga karena tergoda memakan buah Khuldi, sementara Idim tertidur pulas saat iblis menggoda sehingga lepaslah Idim dari godaan, sedangkan masih ada si Udum yang saat iblis datang menggoda, ia dalam keadaan bangun dan berjuang sekuat tenaga menghalau godaan iblis.  Dalam kaitan pahlawan, beliau mengatakan ada pahlawan yang berjasa bagi orang lain, ada pahlawan yang merusak bagi orang lain, ada yang berjuang untuk memperjuangkan sesuatu, dan ada yang tidak melakukan sesuatu. Dan dari ketiga tokoh tersebut, siapakah yang menjadi pahlawan? Apakah Adam yang tidak berjuang melawan iblis? Ataukah Idim yang saat digoda ia telah tidur terlebih dahulu sehingga bisikan itu tidak terdengar? Atau justru si Udum yang jelas-jelas dalam keadaan terjaga dan berjuang tanpa menyentuh buah itu sesentuh pun? Permainan kisah yang dibawakan Kang Ali mengajak kita untuk berfikir filosofis terlepas jawaban mana yang benar di antara ketiganya.

Foto: Dok. SEMAK | Lokasi : Museum Kretek Kudus

Foto: Dok. SEMAK | Lokasi : Museum Kretek Kudus

Obrolan maiyah semakin hangat dengan selingan kegembiraan dari penyanyi bersuara emas, Urva beserta Ali Kacang dan Rouf Kuro (sutradara Teater Satoesh IAIN Kudoes). Wajah Urva yang tampak ceria malam itu menceritakan tentang gitar yang akan dipetiknya adalah oleh-oleh dari Mas Wakijo saat bersilaturrahim ke Jogja tempo lalu. Penyanyi pengagum Wakijo lan Sedulur (WLS) yang pernah duet bersama di Semak edisi Oktober lalu itu kembali melantunkan tembang ‘Keseimbangan’, dilanjut tembang baru Urva Creato yang akan rilis dalam waktu dekat ini. Kongsi Band dari sekumpulan anak muda bermarkas di sekitar lapangan Kongsi juga menyumbangkan lagu yang tak kalah menghipnotis jamaah dengan judul ‘Korban Janji’-nya.

November Rain, Semak Tadabburan selain disambut dengan guyuran hujan sebelum acara, juga dihujani puisi. Di antaranya puisi Mbak Yani, pecinta sastra dari Undaan dengan puisi kebingungannya bagaimana menjadi satriya untuk bumi pertiwi, serta penampilan duet apik dari rekan Om Budi Maryono, yaitu Mbak Srikanti dan Mas Boham dengan sajak Sluku Sluku Bathok versi yang ditulis oleh Mbak Srikanti. Mereka bertiga (Budi Maryono, Srikanti dan Boham -red) adalah para seniman yang dipertemukan dalam antologi puisi Sendhon. Dan sebelum purna acara disusul puisi kepahlawanan dari Ali Kacang (Teater Satoesh – IAIN Kudus) yang mengaduk-aduk emosi, dengan iringan gitar dari Urva.

Narasumber yang paling ditunggu, Om Budi Maryono memaparkan adanya tauhid yang akhir-akhir ini diplintir untuk kepentingan lain. “Di bibir saja tauhid itu sulit terserap dalam hati, kendati ribuan kali diucap, apalagi jika dituangkan dalam atribut”. Obrolan juga menggali lebih jauh istilah carangan. Selain diselingi guyonan tentang motivasinya menulis yang jujur berlatar materi, ia juga berujar bahwa buah dari menulis itu merupakan jalan rahmat.

Tibalah pada penghujung acara, Sekjen Semak; Mas Iwan Pranoto menutup dengan penjabaran artefak sejarah peninggalan zaman perjuangan yang ada di Kudus. Salah satunya ialah tugu Ahmad Yani di pusat kota yang berlatar mengenang kepahlawanan Ahmad Yani menghalau tentara Komunis.

Mari meresapi kepahlawanan dari diri sendiri terlebih dahulu, agar kita mampu menelaah kata satriya yang sebenarnya dari lingkup yang terkecil, diri kita. (Redaksi – Yani)

Ibu rumah tangga, pecinta sastra, abdi di Madrasah dan TPQ Miftahul Falah Undaan Kudus