MAIYAHKUDUS.COM

Lahir Kembali dengan Kepantasan

Reportase Semak Tadabburan edisi ke-47 bagian ketiga 

Munajatan lebih dari satu jam sudah usai. Lagu Indonesia Raya pun telah menggema. Akhirnya diskusi maiyahan dimulai. Cak Sifqi mengawali dengan membacakan mukadimah Semak Tadabburan edisi kali itu (16/10) sebagai pengantar diskusi.

Aan Triyanto selaku moderator membagi diskusi dengan canda ger-geran khas maiyahan. Meskipun demikian, pertanyaan kepada para pemantik begitu menggelitik, dia membuka dengan kalimat bahwa kita telah ditempa dengan pandemi yang mempengaruhi segala lini, dari pendidikan, politik, sosial, ekonomi dan seterusnya, bahkan sampai akidah pun diuji. Sehingga, dari efek pandemi ini bagaimana menata diri untuk lahir kembali?

Kang Iwan Pranoto merespons pertama. Dia menyampaikan bahwa lahir kembali tidak harus melalui kematian, tapi bisa juga dari hasil tempaan, hasil dari ujian naik turunnya apa pun dalam kejiwaan kita. Semoga kita bisa survive melalui cobaan. Di dalam segala situasi, tidak hanya faktor manusia atas hasilnya tapi Tuhan punya kehendak mutlak menentukan takdir. Sehingga yang sudah berlalu dijadikan pelajaran, jangan terlalu disesali.

Kang Ali Fathan yang jauh-jauh pulang ke Kudus khusus untuk acara malam itu langsung mengambil alih mikrofon. Dia berkata kalau baru sampai kudus sore tadi dan besok langsung kembali ke Bogor.

Pancingan dari moderator sebelumnya direspons nakal dan semau-maunya oleh kang Ali. Dia bilang akan bicara ngasal, sebab mumpung ada Syekh Jalil yang nanti akan mberesi. Dia mempertanyakan buat apa kita muludan? Sebenarnya yang kita seremonikan itu apanya dari maulid nabi? Situasi kelahirannya, manusianya, nur, risalahnya, nilai-nilainya atau apanya?

Sebelum Kiai Abdul Jalil menanggapi, Kang Aan menambahkan pantikan; kenapa nabi yang sudah nyaman secara materi dan spiritual dengan Tuhan harus repot turun gunung memperbaiki masyarakat sampai hartanya habis dan dimusuhi banyak kaum?

Ternyata kalimat respons yang disampaikan Syekh Jalil di luar dugaan. Beliau bukannya memberesi malah menambah bahasan semakin ruwet. Lontaran-lontarannya mendekonstruksi keimanan. Beliau berkata tidak bertanggungjawab kalau pulang dari sini langsung ada yang murtad. Diikuti gerr oleh jamaah.

Malam itu Syekh Jalil duduk di pojok kanan mengenakan baju coklat, sarung batik dan ikat kepala khas adat Kudus. Beliau membuka dengan menyampaikan bahwa hari ini orang seperti kita tidak punya bapak, tidak punya tempat bernaung. Yang terlewat dari 75 tahun kita merdeka banyak, dan itu kufur nikmat. Kita lupa dengan orang tua kita.

Salah satu orang tua panutan kita adalah Nabi Muhammad. Ketika bicara Muhammad, tentu kita ngomong bosnya, Tuhan. Padahal, dalam sejarah dunia mana pun tidak ada yang pernah ketemu Tuhan (red: secara Zat), baik para nabi sekalipun. Bahkan juga ketika nabi ketika melewati Sidrotilmuntaha menuju Istawa, paling pol ketemu Nur Allah.

Sampai di sini tidak jelas, Tuhan itu ada atau tidak. Kalau panutan kita saja belum pernah bertemu, bagaimana mungkin kita bisa yakin Tuhan itu ada? Orang-orang sekarang, baik ateis maupun yang beragama sama-sama tidak tahu keberadaan Tuhan. Dan bedanya hanya soal keyakinan.

Permasalahan lain adalah misalnya: nabi tidak bisa baca dan tulis. Nabi yang buta huruf mengejakan wahyu ke siapa saja yang berada di dekatnya ketika turun. Bagaimana mungkin wahyu tercecer kemudian ada mushaf al-Qur’an utuh yang sekarang kita yakini kebenarannya? Belum lagi, dari yang kita anggap utuh itu muncul tafsir berbeda-beda di mana kita tidak tahu mana yang benar. Kalau yang kita yakini saja belum tentu kebenarannya, lalu buat apa kita bertengkar dengan itu?

Kemudian, carik pemangku 600 lebih situs punden dan delik di kota Kudus itu juga menyatakan bahwa perayaan maulid nabi itu soal kosmologi. Salah satu bentuk dari cara menata masyarakat adalah dengan ‘klenik’, bentuknya bisa agama, kitab, keyakinan, uang, kemanusiaan, globalisasi, demokrasi dan seterusnya. Begitu juga keyakinan tentang kelahiran nabi.

Pancingan-pancingan yang membuat dahi berkernyit menjadikan semangat dan antusias jamaah. Selanjutnya begitu cair, diskusi jual beli pertanyaan begitu laris. Lebih dari 10 respons terlontar, saling berbalas tanggapan. Semua tampak bergairah diselingi celetukan dan candaan yang membuat gema tawa memenuhi aula.

Dari respons-respons yang muncul, masing-masing mencoba merekonstruksi keruwetan. Kyai Jalil membuka simpul dengan pertanyaan: yang hakiki itu di mulut atau di hati? Jangan-jangan selama ini kita belum benar-benar islam, sebab menerimanya sebagai warisan atau turunan dari orang tua.

Padahal ada dimensi luar dan dalam untuk melahirkan serta menumbuhkan cinta atau keyakinan. Dan puncaknya tersimpan rapat di dalam sanubari. Apa yang ada di mulut cuma menerjemahkan apa yang di hati.

Tauhid itu keyakinan akan keberadaan Tuhan. Bentuk nama-nama adalah konstruksi budaya untuk memudahkan. Akan tetapi kita malah terjabak dengan pembagian-pembagian, nama-nama dan definisi yang kita buat sendiri. Sehingga kerepotan sendiri dengan keyakinan yang ingin dibangun. Kita terjebak dengan bahasa, padahal yang penting adalah substansi.

Misalnya kita memahami para wali itu tidak terpengaruh caci dan puji. Mereka demikian sebab sudah futuh bahwa esensinya tetap sama, tidak berubah sama sekali. Dikatakan jelek tidak akan merubah mereka tiba-tiba menjadi buruk, begitu pula sebaliknya.

Di lain hal, wujud Tuhan yang disembunyikan atau wajah nabi Muhammad yang misterius, justru menjadi kemerdekaan dalam membayangkan kesempurnaan. Tapi Tuhan mempermudah, Dia mencipta, tajali. Bentuk kelahiran nabi secara nur, basyar, nubuat, risalah dan sebagainya adalah bagian dari Tuhan dalam memudahkan mengenalkan diri. Namun demikian, setiap orang punya bayangan keyakinan sendiri terhadap sesuatu. Sehingga memperdebatkan bayangan keyakinan akan membuat perpecahan.

Padahal perbedaan adalah bentuk kasih sayang Tuhan. Sehingga persatuan dalam berbagai perbedaan itu keindahan. Kunci untuk sampai ke situ yakni dengan fastabiqulkhairat (berlomba dalam kebaikan) dan beramal saleh.

Saleh makna dasarnya yaitu patut atau pantas. Ukurannya berupa memantaskan diri dengan perbedaan diri kita dalam hal apa saja di lingkungan sosial.

Tak terasa sinau bareng tanpa jeda hampir 3 jam. Syekh Jalil yang sejatinya punya waktu sampai jam 11 malam sebab ada agenda pertemuan dengan pemangku punden dan delik, ikut larut asyik dalam gairah diskusi.

Lewat pukul 00.00 beliau mohon pamit. Sebelum Mas Yusup ‘Bukan Nabi’ membacakan puisinya “Suluk Jaman Saiki” dan karya Gus Mus “Negeri Haha-hihi”, Aan Triyanto meminta hadirin untuk jangan pulang dulu karena setelah ini akan ada baca syahadat bareng-bareng. Jamaah malam itu menyambut dengan bahana tawa berjamaah.

Diskusi berlanjut hingga lewat jam 1 dini hari. Intinya mengemuka untuk tirakat dengan menjaga istikamah dalam fastabiqulkhairat dan kesalehan. Sebab sebaik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia.

Semak Tadabburan seolah tidak mau diakhiri. Tapi diskusi tetap harus dengan kesalehan. Menjaga kepantasan. []

Sedulur Maiyah Kudus (Semak) adalah Majelis Masyarakat Maiyah di Kota Kudus, yang merupakan bagian dari Masyarakat Maiyah Nusantara.