MAIYAHKUDUS.COM

Belajar Transaksi Ikhlas dengan Tuhan

Reportase Semak Tadabburan Edisi ke-31 (bagian 1)

Menjelang pukul 16.00 WIB pada akhir pekan ke dua Februari 2020, saat pegawai Museum Kretek tengah bersiap menjemput kebebasan dari rutinitas kerja, tiga pemuda datang dan terlihat sibuk di halaman museum. Dengan cekatan mereka menggelar tikar dan terpal sebagai alas duduk bagi orang-orang yang nantinya datang. Mulai dengan membantu tukang sound sistem memasang kabel dan menyetel speaker supaya suara mic terdengar nyaman di telinga, lalu memasang banner seukuran tinggi pintu utama museum sebagai penanda malam itu diselenggarakan Semak Tadabburan edisi ke-31.

Mereka biasa disebut penggiat, yaitu jama’ah maiyah yang bersukarela dan berkomitmen memastikan acara terlaksana setiap bulan. Bukannya mereka tidak lelah setelah beraktivitas keseharian. Tapi untuk maiyah, tubuh dan batin mereka terasa ringan dan riang. Suasana batin mereka tidak bisa dianggap remeh, sebab kegembiraan sejak dari persiapan biasanya menularkan energi positif bagi kelancaran sebuah acara. Pada mereka predikat muhlishin pantas dilabelkan di tengah hiruk pikuk dunia yang dipenuhi naluri transaksional.

Mendung yang sejak siang menyelimuti Kota Kudus ternyata tak sampai hati menumpahkan airnya malam itu. Namun jejaknya menyisakan udara lembab dan semilir angin yang terasa dingin kala menyentuh bulu roma. Dalam suasana khusyuk, sekitar pukul sembilan malam alunan munajat menggema menandai maiyahan dimulai. Tak kurang dari sembilan orang menghaturkan cinta melalui shalawat kepada rasulullah dipandu bergantian oleh Iwan Pranoto, Cak Sip dan Agusman yang duduk membelakangi banner. Sembari munajatan berlangsung, satu persatu jama’ah yang baru datang menempatkan diri pada tempat yang tersedia.

Munajat merupakan salah satu dari tiga unsur maiyahan yakni spiritualitas, intelektualitas dan kegembiraan. Munajat bukanlah seremonial belaka apalagi sekedar pengisi waktu menunggu jama’ah berkumpul. Munajat sesungguhnya kunci bagi pintu keberkahan dan pertolongan.

Hidup dalam masyarakat nusantara belum afdol rasanya jika ada perjumpaan tanpa suguhan hidangan dan minuman (sekaligus ududan). Meskipun pepatah jawa berbunyi “mangan ora mangan kumpul“. Oleh karena itu kopi panas bersanding rebusan kacang, ubi dan pisang tersaji di atas piring anyaman rotan mulai beredar di sela-sela jama’ah yang duduk lesehan.

Sembari menikmati hidangan Iwan Pranoto mengajak jama’ah memasuki sesi diskusi yang mengangkat tema “Pasar”. Menjadi kesepakatan untuk pemilihan tema di tahun ini merujuk pada perjalanan dan perjuangan Rasullullah SAW membangun peradaban madani. Tak hanya kepada beliau, kita juga menggali pelajaran dari para sahabat. Kisah Abdurrahman bin ‘Auf sedikit banyak diulas oleh Iwan Pranoto. Sahabat nabi yang terkenal piawai berbisnis ini mampu menjadi salah satu pebisnis besar di Madinah hanya berselang hitungan bulan setelah hijrah dari Makkah. Iwan Pranoto menyoroti keberhasilan Abdurrahman bin ‘Auf tidak lepas dari keteladanan Rasulullah SAW yang mengutamakan kejujuran dalam berdagang di waktu sebelum kenabian. Sehingga para investor dan pemodal tidak segan mengajak bekerjasama.

Mengaitkan dengan masyarakat Kota Kudus di mana kulturnya terefleksi dalam jargon Gusjigang; bagus (akhlaq), ngaji (spiritualitas) dan dagang (kemandirian). Susuhunan Syarif Ja’far Shadiq Al-Qodiri Al-Hasani atau yang biasa dikenal dengan nama Sunan Kudus pada jamannya merupakan ketua asosiasi perdagangan antar bangsa. Senada dengan Rasullullah SAW kala membangun pasar di Madinah, bisa jadi Sunan Kudus bukan pelaku utama perdagangan. Namun peran, sifat dan karakterlah yang menjadikan Beliau dipercaya oleh berbagai pihak yang berkepentingan.

Respon jama’ah cukup beragam, salah satunya dari Cak Sip. Anak muda lulusan IAIN Kudus jurusan dakwah islam ini skripsinya meneliti tentang dinamika maiyah di sekitar Kudus dan Demak. Ia menambahkan kisah tentang Abdurrahman bin ‘Auf dan buah kurma busuk. Di mana Abdurrahman bin ‘Auf berkeinginan mengurangi hartanya agar kelak di akhirat lebih ringan hisabnya dengan memborong semua kurma busuk dari pekebun dengan anggapan supaya merugi. Namun tanpa diduga pada suatu wilayah lain sedang melanda wabah yang bisa diobati memakai kurma busuk. Alhasil, kurma busuk milik Abdurahman bin ‘Auf pun laku dengan harga bagus.

Ada pula respon dari Esta, seorang pemilik toko fashion dan jama’ah yang bersemboyan “kerjamu ojo nganti ganggu ngopimu” (red: manusia idaman para pedagang dan pemilik kedai kopi). Ia merespon dengan mengaitkan filosofi kegiatan perdagangan dengan matematika. Yaitu angka nol dibagi nol sama dengan tak terhingga, yang ditafsirnya berdagang harus dilandasi dengan nol atau ikhlas sebab nanti hasilnya bisa tidak terduga dan tidak terhingga. (M. Febrian W.H.)

Penggiat di Sedulur Maiyah Kudus