MAIYAHKUDUS.COM

Memaknai Kanca Sila

Reportase Semak Tadabburan Edisi ke-34 (13 Juni 2020)

Mas Baston, salah satu pegiat di Sedulur Maiyah Kudus (Semak) membagikan peta jalan menuju Maqha. Maqha merupakan tempat tadabburan selepas Museum Kretek belum dibuka bagi umum lantaran situasi pandemi beberapa bulan terakhir belum berakhir. Saya melihat peta dari Mas Baston, butuh waktu 13 menit perjalanan. Tak jauh memang, namun situasi mengurungkan saya mendatangi Maqha. Saya memutuskan bermaiyah secara virtual. Semoga tak mengurangi kenikmatan bermaiyah.

Mas Baston merupakan salah satu dimensi kegembiraan saat Tadabburan. Malam itu Mas Baston dan para pegiat lainnya mempersiapkan sisi teknis bukan dimensi kegembiraan. Meski disiarkan melalui youtube, persiapan Semak Tadaburan dilakukan begitu baik. Para pegiat berusaha agar jamaah maiyah betah bersila di depan gawai masing-masing. Tripod, kabel, karpet menjadi perkakas yang tak lupa mereka bicarakan di grup whatsup. Mereka saling mengabarkan apa barang yang lupa dibawa dan dengan secepatnya ada yang menanggapi kesanggupan membawa barang yang terlewat. Proses persiapan seperti ini dilakukan setiap bulan menjelang Semak Tadabburan.

Di salah satu sisi Maqha, ada tempat berukuran 2 x 2 meter dengan tinggi seperut orang dewasa. Sehingga jika ingin menaikinya butuh tangga kira-kira sebanyak 4 pijakan. Semak Tadabburan malam itu disiarkan di sisi tersebut. Mungkin sebelum ada masa pandemi ini, tempat itu adalah tempat pertunjukan musik untuk menemani pengunjung Maqha. Maqha belokasi berdekatan dengan Kampus IAIN Kudus.

Munajat maiyah dimulai. Kang Lukman, Kang Huda, Cak Sip dan beberapa jamaah lainnya bermunajat. Mereka terlihat di akun youtube Maiyah Kudus begitu khidmat. Munajat maiyah selalu menjadi pembuka bermaiyah. Diiringi 2 terbang membuat maiyahan tidak terasa kalau dilakukan secara virtual.

Dimulailah pintu berikutnya dalam bermaiyah. Dimensi Keilmuan. Kali ini Mas Aan dan Kang Iwan menyapa jamaah dengan tema Kanca Sila. Sila bisa diartikan juga dengan posisi duduk. Mas Aan menggambarkan bahwa bersila adalah salah satu cara untuk mencari keseimbangan. Posisi sila membuat manusia bisa merasakan ketenangan. Dengan ketenangan, kesehatan tubuh secara jasmani maupun rohani terjaga.

Mas Iwan mengartikan sila secara horisontal dan vertikal. Kehorisontalan terlihat pada posisi kaki manusia dalam bersila. Tubuh yang ditopang oleh kaki membentuk arah vertikal. Horisontal diartikan sebagai hubungan manusia dengan manusia lainnya sedangkan vertikal menandakan hubungan manusia dengan Tuhan.

Pandangan beragam dalam bermaiyah justru memperkaya para jamaah. Para Jamaah bahkan bisa mendapatkan sudut pandang berbeda. Mereka bisa memakai sudut pandang seperti apa untuk memahami sesuatu asalkan menuju kebaikan dan kebenaran.

Justru dengan cara virtual, Jamaah Maiyah bisa saling berkomunikasi dengan jamaah Maiyah lainnya yang berada jauh dari Maqha Kudus. Seperti malam itu, para pegiat menghubungi beberapa jamaah maiyah untuk urun rembug mengupas tema. Salah satunya adalah Mas Ali Fatkhan yang saat ini berada di Bogor. Beliau selalu menemani jamah maiyah Kudus juga aktif dia simpul maiyah Gambang syafaat Semarang.

Mas Ali membedah Kanca Sila dari sisi bahasa. Menurutnya, kanca sila adalah dua kata yang paradoks, saling bertentangan. Kanca bisa diartikan sebagai teman. Sepatutnya seorang teman, kanca adalah orang yang aktif. Sedangkan, sila adalah kontemplatif, berdiam diri bahkan tidak bersifat aktif sama sekali.  Ada beberapa dalih orang mencari kanca sila. Pertama, orang mencari kanca sila karena kebutuhan. Orang sadar tidak bisa mencapai suatu hal dengan sendirian. Butuh teman untuk bisa mencapai suatu hal.

Kedua, orang butuh kanca sila tapi sekadar mengkatarsiskan. Misal kalau sedang patah hati, butuh teman untuk bercerita perihal kesedihan akibat patah hati. Orang berkumpul untuk sekadar melampiaskan, atau ngeplongke. Ketiga, kebiasaan. Orang berkumpul hanya kebiasaan saja.

Kang Ali juga menambahkan kalau orang sedang berkumpul, sebenarnya apa motifnya? Bisa berkumpul secara homogen. Orang-orang berkumpul karena kesamaan. Misalkan kumpulnya orang gitaran. Bisa saja berkumpul secara heterogen. Lalu lintas informasi di heterogen beragam. Seperti di maiyah ini. Ketika membicarakan suatu hal, sudut pandang yang beragam justru malah memperkaya makna.

Selain dari Bogor, ada Mas Hajir yang ikut mengulas tema dari kediamannya, Karangtengah, Demak. Sila itu tak ada hierarki. Semua dalam lingkup yang sama. Antara raja dan rakyat itu bukan kanca sila karena ada hierarki. Prasyarat kanca sila itu ya sama tinggi dan sama rendah. Maka islam itu menghilangkan perbudakan. Karena antara tuan dan budak ada hierarki yang besar.

Mas Hajir juga menyinggung maiyah adalah kanca sila. Panggung yang ditata di setiap maiyahan tidak terlalu tinggi. Ketinggian itupun hanya bermaksud agar para jamaah terlihat. Posisi duduk melingkar setiap bermaiyah bisa diartikan tidak menimbulkan heiralki. Mas hajir malam itu juga menyumbangkan dongeng perihal kucing buta.

Tak hanya kang Ali dan Mas Hajir. Ada Juga Cak Noeg dan Wakijo dari Semarang ikut menyumbang ide tentang tema kanca sila. Wakijo juga ikut menyumbangkan lagu berjudul Keseimbangan. Lagu itu cukup mengobati kerinduan para jamaah Maiyah lainnya. Malam itu Semak Tadabburan juga ditemani Urva Creato. Lagu-lagu Urva membuat kita optimis menjalani hari-hari ke depan.

Humor-humor kecil ala Pak Nur Hadi dan Gus Syafiq menambah Semak Tadaburran menjadi berwarna. Para pengulas tema dan pengisi acara di Semak Tadabburan sepakat bahwa Maiyah adalah adalah kanca sila yang pas.

Penggiat di Sedulur Maiyah Kudus. Guru di SMA 1 Mejobo, Kudus.